Gilang
EranBatubara Art
Desember 22, 2010
0 Comments
Tiada satu orang pun yang tahu, bagaimana nasib setelah lahir di bumi ini. Dengan keadaan baik atau buruk hanya Allah yang tahu dan kita sebagai makhluk ciptaan-Nya hanya bisa mensyukuri apa yang telah Allah berikan kepada kita. Dan kita harus tetap tegar menjalani hidup ini, selama kita masih mau berusaha selama itu pula kita akan tetap bertahan hidup. Ini adalah sebuah kisah tentang kejamnya hidup untuk seorang anak kecil mulai dari dibawah umur sampai dengan besar. Anak itu bernama Gilang, dari kecil dia tidak memiliki kasih sayang yang sangat dia harapkan dari kedua orangtuanya.
Kehidupan keluarganya sederhana, kalau untuk bahan pangan sehari-hari masih tercukupi. Ayahnya berprofesi sebagai tenaga kerja di suatu perusahaan swasta, dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga. Gilang adalah anak pertama dari dua bersaudara, adek gilang bernama sari dan masih dalam pangkuan ibu. Pada umur 2 tahun gilang sudah tidak begitu dirawat oleh ibunya, nasi yang sudah disendok ke piring hanya diletakkan ke hadapan gilang dan terkadang gilang di suruh untuk mengambil nasi sendiri. Begitu malang nasibnya, seharusnya seumuran dia masih harus mendapat lentik lembut jari dari kedua orangtuanya. Setiap gilang mengenakan pakaian, ukuran baju dia selalu tidak sesuai terkadang kebesaran dan terkadang juga kesempitan. Dia tak pernah mengeluh, hanya bersyukur apa yang telah dia gunakan. Ayah gilang seorang yang tempramental, kalau seandainya ada masalah tentang pekerjaan. Terkadang imbasnya jatuh kepada gilang yang tidak tahu apa-apa. Sebagai anak kecil gilang hanya bisa mengeluarkan air mata tanpa teriakan.
Ayah dan ibu gilang sering juga perang mulut, mulai dari masalah materi, tentang hidangan makanan, dan banyak hal lagi. Mungkin pertanyaan besar untuk kita, " Mengapa Gilang terasing dari keluarga itu ?" Kalau kita telusuri dari awal, memang ada penyebabnya hingga dia diperlakukan seperti itu. Ketika dulu ibu gilang masih berpacaran sama ayah gilang. Gilang sudah berada pada rahim ibu gilang, rahim itu tidak tahu dari mana asalnya. Soalnya ketika itu, ibu gilang juga berpacaran sama lelaki lain lebih dari satu orang. Memang diakui bahwa mulai dari bentuk badan hingga muka ibu gilang begitu mempesona bagi lelaki. Ibu gilang termasuk wanita matrealistis. Setelah ibu gilang tahu bahwa dirinya berbadan dua, dia langsung menemui lelaki yang pernah menggauli dia. Mulai dari satu persatu dia datangi untuk bertanggung jawab, tetapi apa nak dikata semua tidak mau bertanggung jawab kecuali ayah gilang. Ekomoni yang paling rendah diantara lelaki-lelaki itu adalah ayah gilang yang tidak memiliki pekerjaan tetap.
Setelah ibu gilang bercerita kepada ayah gilang tentang semuanya, ayah gilang menganjurkan agar kandungan itu digugurkan. Mendengar ucapan itu ibu gilang langsung membantah pernyataan dari ayah gilang. Dengan bergantinya hari, ibu gilang pun memutuskan untuk menggurkan kandungan itu. Dengan ditemani ayah gilang ke tempat pengguguran bayi yang ada di pelosok desa dengan lokasi yang tersembunyi dan payah untuk dijangkau. Setelah mereka tiba di lokasi, mereka mendapat kabar, bahwa orang yang bersangkutan sudah pindah lokasi dan tidak ada yang tahu kemana pindahnya. Mereka terus mencari informasi tentang tempat pengguguran bayi, tapi mereka tidak menemukan satu lokasi pun. Mereka mengambil inisiatif, mereka pergi ke dokter tetapi semua dokter melarang untuk digugurkan. Dan ayah gilang pun berkata " bagaimana kalau aku menikahi mu ?" Dengan tunduknya muka ibu gilang di suasana yang sepi hanya terdengar jeritan hati yang begitu pelan sambil meneteskan air mata. Sekejap menatap ayah gilang dan berkata " kamu serius untuk menikahi aku dan akan menjaga aku untuk selamanya ". Aku akan menikahi kamu dan menjaga kamu untuk selamanya terukir dari mulutnya ayah gilang.
Dari hati kecil ibu gilang tidak menginginkan hal ini, tetapi apa nak daya ibarat orang sudah jatuh ke sungai mau tak mau harus berenang juga. Begitu juga ibu gilang yang mau tak mau harus menerima keadaan. 7 bulan berlalu pernikahan antara ayah gilang dan ibu gilang. Gilang pun keluar dari rahim dan memunculkan muka yang begitu mendebarkan untuk ayah dan ibu gilang. Kehadiran gilang dipangkuan ibu dan ayah gilang tidak begitu menyenangkan kedua hati mereka. Begitu juga dengan ayah gilang tidak menyukai gilang, dan ibu gilang
yang merawat dengan setengah hati. Terkadang ibu gilang sayang terhadap gilang dan terkadang juga benci terhadap gilang. Apabila gilang menangis, ibu gilang sering meninggalkan gilang. Begitu kejam kah seorang ibu kepada anak kandungnya sendiri ! Ketika gilang berusia 2 tahun, gilang pun memiliki seorang adek yang begitu disayang dan disanjung oleh ayah dan ibu gilang. Gilang pun mulai terpuruk dengan situasi dan kondisi itu, semakin hari gilang mulai tidak begitu diurus oleh sang ibu. Mulai dari makan, mandi, hingga berpakain tiada lain hanya gilang seorang diri yang melakukan.
Sebagai anak-anak gilang ingin sekali bermain seperti anak-anak di sekitar rumah gilang yang begitu riangnya saling kejar-kejaran. Tetapi ibu gilang selalu melarang gilang untuk bermain bersama anak-anak di sekitar rumah gilang. Dan begitu juga ibu-ibu dari anak-anak itu tidak memperbolehkan anknya untuk bermain dengan gilang. Rata-rata dari lingkungan itu membenci keluarga gilang, karena kesombongan dan keangkuhan ibu gilang yang tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar. Bahkan setiap ada kegiatan di lingkungan itu seperti : pesta pernikahan, kemalangan, arisan, dan lain-lain, tidak pernah sekalipun mau datang untuk menghadiri kegiatan tersebut. Ibu gilang hanya mau bergaul di tempat dia lahir, yaitu di tempat tinggal orang tuanya yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Gilang hanya bisa memandang anak-anak bermain dari depan pintu rumahnya. Gilang boleh keluar dari rumah, apabila dia disuruh ibunya untuk membeli sesuatu. Hal ini lah yang sangat disenangi gilang karena bisa menginjakkan kaki untuk melangkah keluar, dengan hati yang senang sambil berlari-lari.
Dan dia sering dimarahi oleh ibunya karena terlalu lama pulang ke rumah. Kekebalan hati gilang sudah tertanam di dadanya, cacian dan makian yang keluar dari mulut ibu gilang sudah menjadi hal biasa untuk gilang. Setiap gilang dimarahi, gilang hanya bisa diam dan tertunduk tanpa ada air mata di pipi gilang. Gilang pernah tidak sengaja menjatuh piring hingga pecah, ayah gilang langsung memukul gilang. Memang kalau dilihat dari muka gilang tak ada satu tetes pun air mata di pipi gilang, tetapi dalam hati gilang telah dibanjiri oleh air mata. Ini lah gilang yang masih belum memiliki pemikiran, dia hanya bisa diam, diam dan hanya diam.
Dan hal yang menyenangkan lagi bagi gilang yaitu ketika ayah, ibu serta adek gilang pergi dari rumah untuk ke suatu tempat. Gilang selalu disuruh untuk menjaga rumah dan tidak diperbolehkan untuk keluar rumah. Tetapi gilang selalu memanfaatkan situasi tersebut, gilang langsung keluar dari rumah untuk bermain. Tetapi malang nasib gilang tak seorang pun yang mau bermain dengan dia. Gilang pun melangkahkan kaki untuk berjalan lebih jauh dari kampung itu sambil melihat-lihat di sekeliling dia tanpa menggunakan alas kaki.
Dengan muka yang selalu tersenyum dan bahagia yang jauh dia rasakan dari pada berada di rumah yang begitu terkekang. Semakin dia melangkah semakin jauh juga dia tempuh, gilang pun sampai juga di jalan raya. Dia melihat begitu banyak anak-anak yang bermain di jalan raya sambil menyodorkan tangan kepada pengendara kereta dan mobil. Dia pun mendekat dan melihat langsung di depan mata, apa yang dilakukan anak-anak yang di jalan raya. Dengan polosnya dia pun mengikuti jejak anak-anak itu sambil menyodorkan tangan kepada setiap pengendara. Dia pun dengan senangnya mendapat duit yang diberikan kepadanya dan semakin terus menyodorkan tangannya. Tak sadar waktu pun mulai sore, tanpa sengaja dia melihat ayah, ibu serta adeknya sedang berada di lampu merah dengan menggunakan kereta ayahnya.
Dia pun langsung berlari menuju rumah yang tak ada henti-hentinya karena ketakutannya terhadap ayah dan ibunya. Dengan nasib baeknya, dia pun sampai ke rumah sebelum ayah nya sampai ke rumah. Dengan jantung yang masih berdebar-debar dan keringat yang mengucur di keningnya, ayahnya pun sampai di rumah. Dengan melihat keadaan gilang yang seperti itu, ayah gilang langsung memarahi gilang dan mengatakan kepada gilang " Kau habis dari luar rumah " ( dengan nada yang keras) .
Seperti biasa gilang hanya menundukkan muka dan tidak berani untuk sekejap pun melihat muka ayahnya. Dia pun disuruh ayahnya untuk mandi, di dalam kamar mandi dia begitu bahagia karena telah melangkahkan kaki dari luar rumah. Ketika malam harinya, ibu gilang menemukan duit hasil dari jalan raya tadi di dalam kantong celana gilang. Dengan tanpa ada kata, gilang langsung dipukul oleh ayah gilang dan berkata " Kamu curi dimana Uang ini !". Tak sepatah kata pun terucap dari mulut gilang, seperti biasa dia hanya diam. Rasa takut gilang begitu besar terhadap ayah gilang, setiap ayah gilang berkata kepada gilang. Gilang hanya menundukkan muka dan tak pernah melihat raut wajah ayahnya. Semakin hari umur gilang pun semakin bertambah, dia pun mulai tumbuh besar dengan berusia 6 tahun.
Akhirnya ibu gilang pun memasukkan gilang untuk sekolah. Ibu gilang hanya sekali mengantarkan gilang ke sekolah hanya pada waktu pendaftaran saja dan selebihnya gilang pergi sendiri. Berbeda dengan anak-anak lain yang selalu diantar ke sekolah oleh ayah serta ibu anak-anak tersebut. Di sekolah gilang hanya seorang diri tanpa ada kawan di samping gilang. Karena gilang tidak pernah berbicara kepada siapa pun yang ada di sekolah. Gilang mulai kelihatan aneh di mata teman-teman serta guru gilang, karena selalu sendiri tanpa seorangpun disampingnya. Ketika ditanya guru tentang hal itu terhadap gilang, gilang hanya menundukkan muka dan tak berani berbicara. Jadi guru pun mulai bingung untuk berkomunikasi dengan gilang.
Setiap jam istirahat gilang hanya bisa memandang kawan-kawannya yang sedang asiknya makan-makanan yang di jual di kantin sekolah. Karena gilang tak sepersen pun dikasih uang saku. Dan gilang pun tak pernah berani untuk meminta uang saku. Ketika waktu pembayaran SPP, guru selalu mengingatkan gilang untuk memberi tahu kepada ayah gilang untuk membayar SPP gilang. Tapi gilang tak pernah menyampaikan hal itu kepada ayah gilang. Hingga guru pun mulai marah dengan gilang, dan menyuruh agar memanggil orang tua gilang datang ke sekolah. Gilang tak pernah menyampaikan hal itu kepada orang tuanya.
Setiap jam istirahat gilang hanya bisa memandang kawan-kawannya yang sedang asiknya makan-makanan yang di jual di kantin sekolah. Karena gilang tak sepersen pun dikasih uang saku. Dan gilang pun tak pernah berani untuk meminta uang saku. Ketika waktu pembayaran SPP, guru selalu mengingatkan gilang untuk memberi tahu kepada ayah gilang untuk membayar SPP gilang. Tapi gilang tak pernah menyampaikan hal itu kepada ayah gilang. Hingga guru pun mulai marah dengan gilang, dan menyuruh agar memanggil orang tua gilang datang ke sekolah. Gilang tak pernah menyampaikan hal itu kepada orang tuanya.
Dan orang tua gilang pun jarang bertanya tentang sekolah gilang, setiap ditanya orang tua gilang, gilang hanya kebanyakan diam dan tidak tahu. Ayah dan ibu gilang selalu marah dengan sikap gilang yang selalu diam, dan lama-lama orang tua gilang pun tak pernah menanyakan lagi tentang keadaan gilang di sekolah. Setiap gilang datang ke sekolah ibu guru selalu memanggil dia ke kantor guru untuk ditanya-tanya, tetapi gilang hanya diam saja. Guru pun mulai malas melihat keadaan gilang yang seperti itu dan menyuruh gilang untuk pergi dari hadapan guru. Pertanyaan disini " Apakah gilang yang salah atau justru orangtua gilang yang salah ?"
Disini kita pasti sudah tahu jawabannya....!
Gilang pun mulai tidak tahu lagi apa yang harus dia lakukan, tiba-tiba dia terpikir untuk pergi ke jalan raya. Seusai bel les terakhir berbunyi, dia pun bergegas untuk pergi ke jalan raya. Sesampai di jalan raya, dia pun membuka senyum karena melihat anak-anak rame dengan aktifitasnya sendiri yaitu ada yang bergitar sambil bernyanyi, menepuk tangan sambil bernyanyi, menyodorkan tangan ke kaca mobil dan lain-lain.
Dengan memakai seragam sekolah dia pun ikut menyodorkan tangan kepada pengendara yang lewat lampu merah itu. Mungkin akibat gilang mengenakan seragam sekolah, orang pun banyak yang kasihan melihat dia dan memberi uang kepada gilang. Gilang merasa gembira, karena dia baru sekali ini megang duitnya sendiri. Dia pun melihat anak-anak itu yang sudah mendapat duit dan langsung menjajankannya di tempat penjual makanan. Gilang pun meniru prilaku anak-anak jalanan itu, di tempat jualan dia melihat es krim. Tapi dia tidak berani untuk membelinya, tukang es krim melihat gilang sedang menatap es krim dan bertanya kepada gilang untuk membeli es krim. Gilang hanya diam, dengan santunnnya tukang es krim bertanya dengan lemah lembut sambil tersenyum kepada gilang. Gilang hanya mengeleng-gelengkan kepala ke bawah, tukang es krim pun mengambil es krim dan memberikan kepada gilang. Gilang menerima es krim tersebut dan memberikan semua uang yang ada ditangan gilang.
Dengan muka tersenyum tukang es krim hanya mengambil duit seharga es krim dari tangan gilang. Dengan muka yang begitu gembira, gilang menjilat-jilat es krim dengan perlahan-lahan dikuti dengan tertawa sendiri. Dia pun bergegas pulang, sesampai di rumah makian dari ibunya terdengar keras di telinga gilang karena pulang terlalu lama. Besok harinya gilang beraktifitas seperti biasa yaitu pergi ke sekolah. Sewaktu jam istirahat, tanpa ada panggilan dari guru. Dia menghadap ke depan gurunya yang lagi duduk di kantor guru. Dan langsung memberikan duit yang ada digenggamannya kepada guru. Guru pun langsung heran dan bertanya kepada gilang " ini duit dari ayah gilang " gilang hanya menggeleng-gelengkan kepala gilang. Guru pun mulai berpikir dan mencari jalan agar bisa berkomunikasi kepada gilang.
Dengan muka tersenyum tukang es krim hanya mengambil duit seharga es krim dari tangan gilang. Dengan muka yang begitu gembira, gilang menjilat-jilat es krim dengan perlahan-lahan dikuti dengan tertawa sendiri. Dia pun bergegas pulang, sesampai di rumah makian dari ibunya terdengar keras di telinga gilang karena pulang terlalu lama. Besok harinya gilang beraktifitas seperti biasa yaitu pergi ke sekolah. Sewaktu jam istirahat, tanpa ada panggilan dari guru. Dia menghadap ke depan gurunya yang lagi duduk di kantor guru. Dan langsung memberikan duit yang ada digenggamannya kepada guru. Guru pun langsung heran dan bertanya kepada gilang " ini duit dari ayah gilang " gilang hanya menggeleng-gelengkan kepala gilang. Guru pun mulai berpikir dan mencari jalan agar bisa berkomunikasi kepada gilang.
Dan pertanyaan besar yang ada dibenak guru adalah " gilang itu bisu atau tidak ? ". Dengan anggunnya guru dengan suara yang lemah lembut bertanya kepada gilang. Pertama-tama gilang hanya diam, dan lama-lama dia mulai mau berbicara. Guru langsung tersentak mendengar suara gilang yang begitu lembut dan tidak keras. Guru : Orangtua kamu dua-dua masih ada ?
Gilang : ( hanya menggeleng-gelengkan kepada )
Guru : Orangtua mu merawat dan mengurus gilang kan ?
Gilang : ( hanya bungkam )
Guru : Ini duit kamu lebih..
Gilang ( menerima duit dan bergegas untuk pergi )
Guru : ( hanya bisa terdiam dengan perlakuan gilang ) kamu harus rajin belajar yah .
Gilang : ( menggeleng-gelengkan kepala)
Teman-teman gilang selalu mengejek gilang dengan sebutan ' anak bisu ', gilang hanya diam dan tak berani untuk berbuat apa. Lama-lama dia mulai tidak merasa nyaman di sekolah, dan dia merasa lebih nyaman di jalan raya. Dia mulai jarang datang ke sekolah dan sering pergi ke jalan raya untuk bermain-main.
Dia lebih merasa nyaman bersama orang-orang yang di jalan raya karena tak pernah mengejek dia dan selalu ramah kepada gilang. Gilang pun mulai berani untuk berbicara, karena anak-anak sebaya dia yang di jalan raya selalu mengajak dia untuk bermain-main sambil sama-sama menyodorkan tangan ke pengendara yang lewat jalan merah itu. Anak-anak jalan itu mulai mengajari dia tentang berbagai hal. Gilang pun lambat laun semakin mengetahui semuanya. Setiap jam pulang sekolah, dia pun bergegas untuk pulang. Dan teman-teman di jalan raya itu pun selalu mengatakan agar besok dia datang lagi ke jalan raya.
Ayah dan ibunya tak pernah tau tentang keberadaanya yang seperti itu. Guru gilang mulai heran melihat gilang yang jarang datang ke sekolah, dan mencari-cari informasi tentang keberadaan keluarga gilang. Secara tidak sengaja guru gilang melihat bahwa gilang berada di jalan raya sambil menyodorkan tangan kepada pengendara. Guru gilang langsung turun dari angkot dan mendatangi gilang. Gilang terkejut batin, melihat guru ada di hadapan dia. Dan ibu guru langsung memanggil becak untuk membawa gilang ke rumah guru. Dengan muka yang sangat ketakutan, gilang berkata " jangan buk, kasih tau sama orangtua ku. Aku takut sama orang itu ". Dengan hati yang terharu, guru langsung meneteskan air mata. Ibu tak akan membawa kamu ke rumah kamu, Ibu membawa kamu ke rumah ibu yah ! ucap guru.
Sesampai di rumah, guru langsung menyediakan minuman dan makanan kepada gilang, dengan hati yang bersedih didampingi cucuran air mata di pipi gilang.
Guru : Sudah, gilang kan dah besar, jadi gilang gak boleh menangis.
Gilang : ( dengan mengusap air mata ) Ibu bukan seperti ibu saya kan ? ( dengan muka tertunduk )
Guru : ( dengan tersenyum ) sudah gilang makan aja dulu yah .
Gilang : ( makan dengan nasi yang bertumpahan karena menggunakan sendok)
Guru : ( hanya bisa meneteskan air mata)
Guru itu teringat kepada suami dan anak tunggalnya yang sudah tiada, karena kecelakaan. Jadi guru itu tinggal hanya semata wayang di rumah dengan perasaan sunyi dan sepi. Seusai makan gilang pamit untuk pulang, dan guru tidak memperbolehkan gilang pulang. Dengan muka yang penuh ketakutan mengatakan " Ibu saya akan memarahi saya kalau pulang terlalu lama ". Kamu sering-sering datang kesini yah gilang terucap dari mulut guru. Gilang bergegas pulang, rumah gilang tidak terlalu jauh dari rumah guru kira-kira 30 menit untuk berjalan kaki. Sesampai di rumah gilang langsung di suruh untuk membersihkan rumah oleh ibunya. Semakin lama gilang semakin seperti seorang babu dalam rumah itu. Dia sudah terlatih bangun pagi-pagi dan menjerang air untuk dimasak serta membersihkan isi rumah bila ada yang kotor. Itu lah seorang gilang yang selalu menuruti perintah dari ayah dan ibu gilang tanpa ada rasa untuk mengeluh. Dimata orangtua gilang, gilang selalu salah dan selalu diomelin karena kerja tidak becus. Gilang pun mulai tidak tahan untuk tinggal di rumah itu, gilang teringat kalau anak-anak di jalan itu ada juga yang tidak pulang ke rumah. Gilang pun memutuskan untuk melarikan diri dari rumah dan tak kembali lagi ke rumah.
Dia pun langsung menuju jalan raya, dan kembali bertemu dengan teman-teman dia di jalan raya. Teman-teman dia langsung menyambut kehadiran dia, dengan senang hati gilang langsung beraktifitas seperti biasa bersama teman-temannya. Malam telah berlalu, ayah dan ibu gilang sudah menyiapkan kayu untuk memukul gilang seandainya gilang pulang. Dan gilang pun diajak oleh teman gilang untuk tinggal bersama orang itu di bawah jempatan yang hanya beratap triplek bekas dengan dinding kardus dan berlantaikan tanah. Walaupun pun begitu gilang tetap ceria karena teman gilang selalu menghibur gilang dan selalu mengajak gilang untuk bermain-main. Ayah gilang mulai mencari-cari informasi tentang keberadaan gilang yang sampai saat itu belum pulang ke rumah. Akhirnya ayah gilang menemukan gilang sedang berada di jalan raya, dan langsung menyeret gilang agar segera pulang ke rumah. Sesampai di rumah, gilang langsung dipukul oleh ayahnya dan dikunci di kamar agar tidak kabur dari rumah. Gilang setiap hari berada dalam rumah, dan tidak diperbolehkan untuk ke luar rumah. Guru pun mulai gelisah melihat keadaan gilang yang tak pernah muncul ke sekolah dan ingin sekali mencari informasi tentang gilang.
Gilang tidak memiki pemikiran untuk lari lagi, semenjak gilang dipukul ayahnya dengan kayu. Ketakutan gilang semakin besar untuk melakukan hal yang dilarang oleh ayahnya. Guru pun mulai mencari-cari keberadaan gilang dengan menaiki becak, akhirnya guru mengetahui rumah gilang. Tetapi guru tidak berani untuk langsung melangkahkan kaki ke hadapan rumah gilang. Guru pun mendatangi rumah yang dekat dari rumah gilang dan bertanya-tanya tentang gilang, orang yang berada di sekitar itu pun menceritakan tentang semua kisah gilang, mendengar kisah gilang guru itu langsung meneteskan air mata yang tanpa henti.
Guru tidak berani untuk datang ke rumah gilang, dan bergegas untuk pulang ke rumahnya.
Sesampai di rumah, guru itu sangat memikirkan keberadaan gilang yang begitu terkekangnya dia di dalam rumah, satu demi satu air mata guru itu jatuh ke pangkuannya. Hari demi hari, keberanian guru itu mulai terpupuk untuk mendatangi rumah gilang, dan dia pun pergi ke rumah gilang. Gilang terkejut melihat kedatangan gurunya ke rumahnya. Gilang secara spontan berlari dan memeluk gurunya dengan erat sambil menjatuhkan air mata. Begitu juga guru gilang yang sangat menyayangi gilang memeluk gilang, dan meneteskan air mata. Tiba-tiba ibu gilang ke luar dari kamar dan melihat kejadian itu. Gilang langsung bersembunyi di belakang guru itu.
Guru : Maaf ya bu, saya telah lancang datang ke rumah ibu. Saya adalah guru gilang dan tidak pernah lagi melihat gilang datang ke sekolah. Jadi, saya datang untuk melihat gilang ke rumah ini.
Ibu gilang : Ada hubungan apa saudari dengan anak saya !
Guru : Memang saya hanya sebatas guru gilang, tapi saya sangat menyayangi semua murid saya termasuk gilang.
Ibu gilang : Jadi saudari pikir, saya tidak menyayangi gilang !
Guru : Saya tak bermaksud menyatakan seperti itu, sekali lagi maaf ya bu.
Ibu gilang : Gilang, cepat masuk ke kamar.
Gilang masih berada di belakang guru itu, guru pun menyuruh gilang untuk masuk kamar. Setelah gilang masuk kamar, guru itu pun pamit untuk pulang. Setelah guru pulang, ibu gilang langsung memarahi gilang dan sesekali mengeluarkan tamparan terhadap gilang. Dengan hati berat, guru pun meninggalkan rumah gilang. Ayah gilang mendengar kejadian itu dari ibu gilang. Gilang langsung diusir dari rumah, dan berharap tak kembali lagi ke rumah. Memang kau anak tak tau malu, kamu akan mati di luar sana terucap dari ayah gilang. Dengan muka yang masih basah gilang pun pergi dari rumah tanpa alas kaki dan sepersen pun duit di kantong gilang. Gilang tak tahu mau melangkah kemana, dan dia pun berpikir untuk pergi ke tempat teman dia di bawah jembatan. Sesampai disana dia tidak menjumpai seorang pun, hanya menemukan karton bekas pembakaran. Dia pun duduk di Halte dengan bertemankan air mata dan perut yang kosong. Semakin malam, suasana pun semakin dingin dan menggigil. Perasaan gilang sudah tidak enak badan, gilang pun jatuh sakit. Pagi harinya, gilang masih terdampar di halte itu dengan keadaan terbaring.
Semua orang yang melihat dia, menyatakan kalau dia sudah tak bernyawa lagi. Polisi sudah dihubungi untuk mengangakat gilang dari TKP. Orang pun semakin rame untuk melihat kejadian itu. Setelah diangkat ke mobil polisi, tiba-tiba guru gilang melihat bahwa gilang sedang berada dalam keadaan terbaring di atas mobil polisi. Guru gilang langsung turun dari angkot dan berlari ke arah gilang. Guru gilang langsung berteriak dan menyebut nama gilang, guru gilang berkata kepada polisi kalau itu adalah muridnya. Guru menyangka kalau gilang sudah tak bernapas lagi, dan polisi berkata bahwa anak ini akan kami bawa ke rumah sakit. Guru pun menaik ke mobil polisi untuk ikut ke rumah sakit. Sampai di rumah sakit, dokter menyatakan bahwa gilang masih bernapas. Mendengar kabar itu guru langsung bersenang hati, dan guru pun diintrogasi tentang gilang. Guru langsung menceritakan kepada polisi tentang keadaan gilang di dalam rumahnya dari penjelasan warga yang dekat rumah gilang. Polisi langsung menggerebek rumah gilang dengan membawa ayah dan ibu gilang ke kantor polisi untuk diperiksa.
Adek gilang dititipkan di rumah ibunya ibu gilang. Setelah keadaan sadar, gilang melihat di samping dia yaitu gurunya. Dia pun memanggil gurunya dengan sebutan ibu. Ibu jangan tinggalkan gilang lagi, gilang tidak mau lagi tinggal bersama ibu gilang. Gilang akan tinggal bersama ibu yah ucap guru itu. Setelah diperiksa, ayah dan ibu gilang dianggap bersalah dan mendapat hukuman 3 tahun penjara. Gilang memulai kehidupan barunya bersama gurunya yang sekarang dia panggil menjadi ibunya. Kebiasaan gilang yang cepat bangun dan rajin bekerja, terbawa di dalam rumah dia tinggal yaitu rumah ibunya sekarang. Ibunya sering mengatakan tidak usah ( dengan muka tersenyum ), tetapi gilang tetap mengerjakannya. Betapa senangnya hati ibunya melihat gilang yang seperti itu, bahkan dia sering membuat secangkir teh apabila ibunya sedang duduk. Dan keadaan rumah selalu dirawat oleh gilang hingga kebersihan terus terjaga.
Begitu juga ibu gilang yang begitu perhatian terhadap gilang. Gilang tidak pernah meminta apapun kepada ibunya, tetapi ibunya selalu memberikan sesuatu untuk anaknya gilang. Dibalik kejadian gilang yang sebelumnya tersimpan hikmah yang sangat besar. Gilang sekarang menjadi anak pintar dan disanyangi oleh ibunya.






